Aku terobsesi rasa panas yang menggoda tenggorokanku.
Alkohol membuat semuanya melayang, halusinasi jadi kawan baik.
Membuatku tergeletak di trotoar persimpangan jalan, ditemani remang redup lampu-lampu kota.
“Selamat ulang tahun,” kuucapkan sekali lagi.
Tujuh tahun aku menyebrangi pasir hisap yang berisi nama dan senyummu.
Tidakkah kau ingin kembali?
Hari-hari gelap menuntunku terlena lebih dalam lagi.
Gelas demi gelas kuhabiskan, seolah ia bisa menutup hatiku yang telah berlubang.
Aku tidak menemukanmu pada sudut-sudut Surabaya di pagi hari.
Dinginnya malam bahkan tidak bisa menusukku lebih dalam setelah apa yang pernah kau lakukan.
Senyum-senyum kecil yang tersungging di bibirku hanya topeng buatan orang-orang bodoh.
Aku membayar mahal pada hari-hari yang dinamakan bahagia saat kau termasuk di dalamnya.
Namun demi harga yang mahal, aku berhutang, dan sepertinya kematian menjadi penolong untuk melunasi hutang-hutang itu.
Kematian benar-benar solusi paling permanen untuk rasa sakit yang sementara.
Tapi aku berani bertaruh, bahkan jika mulutku robek karena terlalu sering memanggil namamu, bahkan jika kulit kepalaku tersayat, kau tak akan berhenti memberi garam kepada lukaku.
Proses penyembuhan sialan ini menyakitkan, memaksaku mendayung ke tengah lautan yang berisi raksasa-raksasa kejam tidak tau diri.
Memecutku dalam hening, bertubi-tubi, tak pernah ada ampun.
Sedang aku hanya terdiam seperti manusia tolol.
Namun aku akan tetap membayar mahal untuk hari-hari yang dinamakan bahagia, bahkan jika kau tak masuk di dalamnya.
Ditulis: 5 Maret 2020
Diperbarui: 1 Juni 2022