Jika cerita ini sudah berakhir, lalu kenapa aku masih menulis?
Lembar demi lembar ku isi, ku coret sedemikian rupa hingga menghasilkan sebuah puisi yang kosong.
Tidak bermakna, tidak berarti.
Puisi tanpa hati.
Jika cerita ini sudah berakhir, kenapa aku masih terduduk pilu?
Apa yang kau rasakan?
Sebab aku tidak merasakan apapun.
Detak jarum jam yang kau tinggalkan tak kunjung berhenti, membuatku murka sebab dengan lancangnya Ia terus berputar ketika duniaku tidak lagi secerah kemarin.
Jika kau mencintaiku, mengapa meninggalkan rasa sakit yang menggerogotiku seperti hama?
Membiarkan aku dikuasai kebencian, kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan yang bahkan waktu pun tak sanggup menaklukannya.
Omong kosong soal waktu.
Semakin bertambah detiknya, semakin membakarku ke dalam api neraka yang kau buat.
“Jangan kembali.”
Dua kata yang tak cukup menerangkan berisik di kepalaku.
Aku tak akan menyambutmu dengan hangat.
Tanganku terasa berduri.
Membunuh waktu yang ku jelajahi untuk mengenal suara di dalamnya.
Aku tidak lagi hidup dalam pilihan antara hitam dan putih.
Pekat yang ku pilih, menyelamiku hingga ke dasar.
Dan tak sudi aku bergerak ke atas untuk menggapai cahaya.
Apalagi jika kau mengapung di atasnya.
Ditulis: Surabaya, 5 Mei 2020
Diperbarui: Surabaya, 3 Juni 2022