“Aku cemburu.”
“Dengan apa? Atau dengan siapa?”
“Dengan cinta pertamamu.”
“Mengapa? Dia hanyalah buku yang sudah usang.”
“Tapi buku usang itu kau cintai dengan amat. Kau beri plastik tebal untuk melindunginya dari debu dan hama.”
“Mengapa kau membicarakannya?”
“Aku hanya cemburu. Bagaimana dia bisa kau cintai begitu hebat. Aku cemburu.”
“Aku juga mencintaimu dengan hebat.”
“Tapi kau melihat hujan seperti kau sedang mendengar gelak tawanya yang merdu. Kau juga mengejar mentari pagi seperti kau berlari mengejarnya.”
“Aku…. melakukannya?”
“Kau tau mengapa aku yang selalu mencintai mentari pagi kini beralih membencinya?”
“Tidak?”
“Karena aku benci merasa begitu cemburu kepada waktu yang telah kau habiskan untuk mencintainya, untuk mengasihinya. Tatkala dia hanya menganggapmu angin yang menghembus seragam sekolahnya. Aku benci karena merasa begitu cemburu saat kau selalu mengejar pagi, tersenyum cerah ketika mentari baru saja terbangun. Aku benci merasa begitu cemburu kepada bagaimana kamu selalu merindukan hujan di setiap tahun, karena kau mendengar bagaimana dia tertawa di bawahnya. Meski aku berada di sisimu, kedua matamu yang cantik itu menatap kosong di depan. Seolah aku tak ada, seolah aku hanya guntur yang lewat sekelibat. Aku begitu benci.”
“Maafkan aku.”
“Mengapa kau tidak bisa mencintaiku seperti kau mencintainya?”
“Karena kalian bukan orang yang sama. Kalian berbeda.”
“Tentu saja.”
“Tentu saja?”
“Tentu saja, dia adalah satu-satunya yang akan kau kejar bahkan di kehidupan selanjutnya.”
“Maafkan aku.”
“Aku lelah.”
“Aku tahu.”