Kita Pandai Berdiam Diri

Padfoot.
2 min readFeb 13, 2024

--

Kepada kertas putih yang dengan sengaja kutumpahi tinta hitam, aku meminta maaf untuk itu, namun aku tidak akan meminta pengampunan. Sejujurnya, aku sudah siap melukis kertas-kertas itu sendiri, tanpa siapapun di sisiku. Termasuk kau yang dulu dengan senang hati menungguku keluar dari ruang yang gelap.

Ada kalanya sapa yang biasa kita tukar, berubah menjadi pandangan tanpa kata. Saling bertegur lewat tatapan mata, namun tak kunjung mengeluarkan suara. Aku mengaduh kepada langit, membiarkan satu tetes buliran air mata yang awalnya gerimis menjadi deras. Keterdiaman yang menyakitkan namun menyenangkan. Aku pandai dalam berdiam diri. Kita pandai dalam berdiam diri.

Percakapan tidak berbobot kita di malam hari, kata-kata kasar yang saling kita lempar pada siang hari menjadi usang dengan sendirinya. Ketika waktu merenggut dan meminta kita menjauh dan berjalan melewati lorong-lorong yang berbeda. Hangat tawa yang menggema menjadi kebisuan yang tidak kunjung berhenti.

Pernahkah kamu merindukan aku? Merindukan kita yang pernah saling melepas kesedihan dengan berpegang pada pundak masing-masing?

Pernahkah kamu merindukan aku? Merindukan kita yang pernah saling menubrukkan diri pada sisi hitam yang kita sembunyikan dengan baik dari seluruh dunia?

Aku begitu menyukai saat-saat aku menjadi aku tanpa peduli terhadap lingkaran setan yang membelengguku ketika bersamamu. Mengikis jarak, melukis masa-masa indah yang kini harus kukubur bersama lagu-lagu lawas yang tak kunjung bisa berhenti kudengarkan.

Masih ingatkah kamu ketika aku mengatakan bahwa aku jatuh cinta pada laki-laki tak rupawan bagimu namun begitu menawan di mataku?

Masih ingatkah kamu ketika aku mulai bimbang mempertanyakan apa yang aku rasa saat seorang laki-laki datang dan menawarkan perhatiannya?

Masih ingatkah kamu ketika aku tidak berhenti tersenyum saat aku tergila-gila pada laki-laki berkulit putih dan bermata hijau itu?

Cinta membutakanmu. Membutakan waktu yang kau rangkai dengan baik. Membutakan tujuanmu, mengalihkan perhatianmu, dan kemudian membuatmu terbengkalai.

Cinta membawamu pergi jauh dariku. Aku yang sibuk mempertanyakan hal-hal bodoh di kepalaku, kau tinggalkan bersama cinta yang tengah kau perjuangkan.

Hingga pada kalimat terakhir yang kutulis untukmu ini, kau masih berada dalam cerita yang kubuat. Meski tidak pernah ada akhir yang bahagia. Meski kita dihancurkan. Kau masih menjadi satu-satunya manusia yang menyentuh sisi kelamku.

Oh my dear,
“Any moment might be our last. Everything is more beautiful because we’re doomed. You will never be lovelier than you are now. We will never be here again.” –Homer, The Iliad.

Ditulis: 14 Mei 2020

Diperbarui: 13 Februari 2024

--

--

Padfoot.
Padfoot.

Written by Padfoot.

Questioning the purpose of living– not getting the answer yet.

No responses yet