Kepada Awan, Sayang, dan Hujan

Padfoot.
3 min readAug 14, 2024

--

Kepada awan,
yang terlihat ada namun sebenarnya tiada.

Aku tidak tau kapan kamu akan membaca suratku ini. Mungkin jikalau kamu membacanya, saat itu maka boleh jadi aku sudah lama pergi dari halaman buku yang berulang kali aku baca.

Aku tau, jika sejak awal kita hanyalah dua hantu yang berdiri di depan cermin dengan tegak dan tegap memandang kosong pada bayangan yang kita sebut ilusi. Aku, kamu, kita, membuat kesalahan dalam ketiadaan tanpa ujung. Meski dikurung oleh halusinasi, sejak saat itu aku tau bahwa cintaku padamu tidaklah pernah semu.

Jika aku bermaksud untuk merangkai kalimat yang tepat mengenai kita, itu adalah bahwa aku mencintai diriku yang ada dalam dirimu. Dirimu yang manis bagaikan bau hujan di pagi hari, dirimu yang lembut layaknya permen kapas yang selalu kau idamkan hadirnya di mulutmu.

Andaikata kamu bersedia menoleh sedikit ke belakang, kamu mungkin tau jika aku begitu mempedulikanmu hingga kedua tanganku terus berusaha untuk menjangkaumu. Namun tidakkah kamu pernah bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin aku genggam?

Apakah dirimu? Ataukah aku yang ada di dalam dirimu?

Setiap malam datang dan mulai menyakitiku dengan rentetan berisik di kepala, aku perlahan membuka kembali lembar demi lembar buku harian kita yang telah usang, dan dengan sigap menggantikan suara-suara bising itu menjadi pengetahuan baru tentangmu. Tentang kita.

Melahirkan kemungkinan baru dan membuatku tumbuh sampai kepada titik yang berkilauan. Sehingga segalanya dapat kupahami semudah membalik telapak tangan.

Aku ingin menyebutmu “sayangku” sekali lagi, bersediakah kamu? Saat menulis ini, aku tersenyum simpul karena secara tidak sengaja, aku sudah membayangkanmu mengganggukkan kepalamu. Maaf, kurasa.

Sayangku, ada hal-hal yang ingin sekali aku sampaikan padamu melalui surat ini.

Surat yang sedang kamu baca ini sejujurnya bukanlah sebuah surat cinta ataupun surat yang menafsirkan rinduku padamu. Tapi surat ini adalah buah dari kemarahanku yang kurangkai sedemikian rupa dengan indah dan apik sehingga mungkin akan membuat sedikit kesalahpahaman.

Sayangku, seharusnya jika kamu mengenaliku dengan baik, aku rasa kamu akan mengerti seberapa banyak sumpah serapah di setiap kalimat yang aku uraikan dalam surat kebencian ini.

Atau kamu sebenarnya tidak pernah mengenaliku dengan baik sehingga pada paragraf ini, kamu akan kebingungan dan membaca ulang sejak awal.

Bagiku keduanya tidak masalah. Selama kamu membaca dan memperhatikan surat ini dengan baik tanpa ada perasaan dan memori yang tertinggal di kepalamu. Memori yang aku harap segera dimakan waktu karena yang aku lihat hanyalah kekosongan tanpa batas.

Sayangku, cinta itu buta. Namun aku tidak dibutakan. Aku tumbuh bersama kekelaman yang begitu pekat sehingga tak sedikitpun cintamu yang dapat membuatku tersedak meski cangkir yang kamu tawarkan berisi racun.

Aku tak menyesali setiap keputusan yang kuambil kala aku menggenggam erat tanganmu yang rapuh. Akan tetapi, tentu aku meraung menggeragau pada setiap butiran luka di sekujur tubuhku setelah kenyataan menghempasku begitu kencang.

Tidak akan pernah ada kata ampun yang keluar dari mulutmu, pun dari mulutku. Kita akan terus membisu hingga dimakan usia. Membenamkan sisa-sisa madu dan racun yang mengalir di setiap aliran darah dan hembusan nafas masing-masing dari kita. Sampai batas yang tidak mampu lagi kita lihat.

Surabaya,

suatu hari nanti.

--

--

Padfoot.
Padfoot.

Written by Padfoot.

Questioning the purpose of living– not getting the answer yet.

No responses yet