Kalau besok aku dihancurkan, barangkali karena aku terlalu besar menaruh harapan. Musim panas yang perlahan-lahan menyapa menjadi saksi bisu bagaimana aku menundukkan kepala, menghentak-hentak kecil kaki dengan sepatuku yang telah usang. Ogah-ogah aku menunggu, namun pilihan hati membuat ragu.
Pecah, ada kalanya. Kian hari makna yang kutelaah dengan sedikit kewarasan mulai memudar. Adakah hujan yang akan datang lagi apabila tanah mulai mengering?
Bagian belakang punggungku masih basah karena air yang datang dari langit. Pun, sama halnya dengan kaus kaki busukku yang warnanya mulai memudar. Aku mengibas-ngibaskan sedikit tubuhku, menggoyang kesana-kemari, dengan tujuan agar lekas mengering. Namun rasa lembab masih melekat. Hingga aku tak kunjung waras.
Berdecak perlahan, kutadahkan kepalaku, memandang langit yang mulai didominasi silau sinar mentari. Mataku sakit, aku terpejam, dan mengaduh. Tanpa sadar, kedua kaki perlahan melangkah. Masih tak berhenti mencoba menyingkirkan rasa basah dari hujan kemarin. Menyapa musim panas yang kering dan mencekik dengan senyum ramah.
Namun meski kedua kakiku mulai meringan, ada pakaian yang berat. Ada basah yang masih melekat. Serta ada mata yang masih tak mau melihat.