“Jangan membenci. Membenci akan merusak dirimu sendiri. Berdoalah.”
Lalu katakan, bagaimana seseorang bisa berdoa ketika dia telah menyerah kepada Tuhan?
Kertas-kertas kosong yang biasa ia penuhi dengan puisi-puisi menyedihkan, kali ini tidak pernah terisi.
Ia membiarkannya kosong, membiarkannya lusuh, membiarkannya berjamur, membiarkannya terbang ditiup angin.
Anak-anak yang tumbuh dewasa itu layaknya parodi. Membiarkan para orang tua mencoret-coret buku harian mereka. Entah dengan pena berwarna-warni atau hanya dengan satu warna — hitam.
Saling melempar canda, saling melempar tawa, kemudian saling melempar bongkahan. Menunggu hingga salah satunya mati mengenaskan. Atau mungkin, justru mereka semua akan mati, seperti kejutan.
Anak-anak itu takut kepada sepi.
Anak-anak itu takut kepada mimpi.
Anak-anak itu takut kepada esok hari.
Tapi, anak-anak itu tetap harus berdiri.
“Baik-baik saja. Kamu akan baik-baik saja.”
Selayaknya makanan, anak-anak itu mengkonsumsinya. Setiap hari, setiap saat. Setiap nafas yang mereka ambil — dan yang mereka buang.
Malam, pagi. Hari ini, kemarin, atau esok.
Tapi tidak ada yang berubah.
Hanya mereka yang bertambah tua.
Mereka lupa — para dewasa itu, jika anak-anak bisa tumbuh dewasa.
Mereka lupa — para dewasa itu, jika anak-anak bisa dimakan usia.
Mereka lupa — para dewasa itu, jika anak-anak bisa berdiri sebagai si perkasa atau si nelangsa.
Mereka lupa — para dewasa itu, jika anak-anak tidak akan pernah lupa.
Hingga mereka luput, saat anak-anak itu telah benar-benar berhenti berdoa.
Anak-anak itu berdiri, berjalan tidak berhenti, tidak menangis, bahkan tidak tertidur.
Karena mereka tau, kegelapan yang menggiring mereka juga tidak pernah berhenti. Tidak peduli jika mereka menangis dan tidak tertidur.
Anak-anak yang tidak pernah sembuh dari luka itu, tidak membutuhkan maaf.
Anak-anak yang tidak pernah bangkit dari mimpi buruk itu, tidak membutuhkan hiburan.
Dan, anak-anak yang enggan berdamai itu, tidak membutuhkan kasihan.
Kepada langit yang tidak pernah menampakkan matahari,
kepada laut yang deburan ombaknya menghempas terlalu kuat,
dan kepada seseorang yang mereka sebut Tuhan.
Anak-anak itu, melanjutkan kisah mereka, menuliskan pada buku yang telah usang, yang telah gelap dimakan waktu.
Tidak tergoda menulis cerita baru kepada halaman yang lebih indah.
Tidak tergoda menulis cerita baru dengan pena berwarna-warni.
Tidak tergoda dengan kata yang menggiurkan — perdamaian.
Ditulis: 13 Maret 2020, beputr.blogspot.com
Diperbarui: 24 Januari 2023, medium.com/@beputr